M. Zainuddin*
Pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia telah mencanangkan tahun 2022 sebagai tahun toleransi. Tahun yang menjadi komitmen pemerintah dalam merawat toleransi baik sosial, keagamaan, maupun politik demi memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa. Pencanangan tahun 2022 sebagai tahun toleransi ini sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan moderasi beragama sebagaimana yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasiona (RPJMN) 2020-2024.
Sementara itu dengan sigap Kementerian Agama telah menindaklanjuti RPJMN tersebut dengan melakukan survei Indeks Profesionalisme dan Moderasi Beragama (IPMB) berbasis Computer Assisted Test (CAT) bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kementerian Agama yang bertujuan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur yang profesional dan bersikap moderat.
Sebagai salah satu pengusung moderasi beragama dan anggota forum kerukunan antarumat beragama, saya memiliki pengalaman terkait dengan isu-isu tersebut. Di Malang Raya di mana saya tinggal, saya dan para tokoh agama yang berbeda selalu melakukan upaya-upaya komunikasi dan dialog dalam menata kehidupan keberagamaan yang toleran dan penuh persaudaraan, sehingga Malang Raya menjadi kota yang aman dan tenteram dalam hubungan antarumat beragama, jauh dari konflik dan intoleransi. Hingga suatu ketika telah terjadi insiden pelecehan agama, di mana ada salah satu umat beragama yang menginjak-injak Kitab Suci Al-Qur’an yang terjadi di hotel ASIDA Batu dapat diselesaikan dengan baik. Hampir-hampir terjadi konflik namun karena kesigapan kami, maka dapat diatasi dan dicarikan solusinya. Saat itu saya segera menelpon Pdt. Suwignyo, salah satu ketua GKJW dan beliau merespon dengan cepat. Kejadian itu tahun 2000-an saat saya masih aktif mengadakan interfaith dialogue, Studi Intensif Kristen-Islam (SIKI), Christian-Moslem Dialogue (CMD), Live-in (peserta Muslim tinggal di beberapa Gereja untuk beberapa hari dan yang Kristen tinggal di beberapa pesantren) dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membuat mereka saling toleran dan tidak canggung dalam bergaul. Kegiatan ini diikuti oleh berbagai utusan tokoh agama di Indonesia dan juga dari beberapa peserta dari luar negeri seperti Jerman dan yang lainnya.
Ada pengalaman yang menarik dan unik, di mana pada pengalaman pertama beberapa peserta dari muslim ada yang risih dan canggung tinggal di gereja, karena mereka harus bersinggungan dengan beberapa anjing dan makanan yang mereka masak dan juga shalat di gereja (di sediakan ruang khusus). Namun, dari para Saudara Kristiani meyakinkan bahwa makanan yang dimasak dijamin halal dan anjing-anjing dijauhkan dari mereka. Sebaliknya, dari Saudara-saudara Kristiani juga segan dan takut masuk pesantren dan bertemu kiai. Namun setelah bertemu dan beramah-tamah mereka merasakan bahwa sikap para kiai pesantren jauh dari yang mereka bayangkan, namun mereka ramah dan sangat santun. Itulah akhirnya mereka saling memahami dan terbiasa bergaul dan tidak saling buruk sangka (suudhan).
Di Indoensia terdapat enam agama yang diakui oleh negara yaitu: Islam, Kristen. Protentan, Hindu, Buha dan Konghucu. The Royal Islamic Strategic Studies Centre/RISSC melaporkan bahwa jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang mayoritas mencapai 231.06 juta yang berarti 86.7% dari total populasi penduduk Indonesia. Hubungan antarumat beragama diatur oleh negara yang disebut dengan Tri-Kerukunan yaitu: kerukunan interumat beragama, kerukunan antarumat beragama dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. Sehingga kehidupan antar mereka dapat dikontrol dengan baik dan harmonis, kalaupun ada konflik tidak seberapa berarti, dan konflik yang tajam dan menimbulkan korban yang terjadi di beberapa daerah seperti di Ambon dan Maluku sebetulnya bukan dipicu oleh persoalan akidah namun lebih karena faktor ekonmi dan politik. Dan untuk merawat hubungan yang harmonis antarumat beragama, pemerintah juga melakukan upaya-upaya serius yang dituangkan dalam RPJMN tahun 2020-2024 yaitu moderasi beragama dan revolusi mental.
Moderasi Beragama
Moderasi beragama bukan agama baru atau membuat agama baru, namun moderasi beragama adalah cara dan pendekatan dalam menegakkan dan mneguhkan kembali bahwa agama itu untuk mengatur hubungan yang baik dan benar baik secara vertikal kepada Tuhan maupun horizontal kepada sesama manusia dan alam sekitar. Moderasi beragama bearti menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan yang menyeru kepada perbuatan baik dan mencegah yang munkar, sikap yang humanis, ramah sosial dan lingkungan dan toleran kepada sesama manusia apapun jenis agama, etnis dan warna kulitnya. Dan bahwa semua agama memiliki misi tersebut.
Moderasi beragama juga merupakan sikap keberagamaan yang toleran, inklusif, menolak segala macam tindak kekerasan dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara yang menjadi rumah bersama, berkomitmen terhadap Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Sementara itu revolusi mental menyeru kepada seluruh warga bangsa untuk menjaga nilai-nilai moral agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana hasilnya? Hingga saat ini masih terus berproses dan terus tetap dijaga oleh negara dan para tokoh agama. Karena kerukunan antarumat beragama di Indonesia selama ini menjadi exemplar keberagamaan yang terbaik di dunia.
Jadi indikator moderasi beragama adalah jika umat beragama memiliki penerimaan dan komitmen terhadap Pancasila dan UUD 1945, toleran dan menghargai perbedaan, anti segala macam kekerasan dan menghargai kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Inilah modal kekuatan bangsa Indonesia yang religius dan memiliki akar budaya yang kuat, tidak mudah dipengaruhi oleh ideologi-ideologi baru dari luar.
Menjaga Atmosfir Keberagamaan
Adalah suatu fakta, bahwa Indonesia sejak dulu telah menunjukkan kehidupan yang harmoni. Melalui Tri-Kerukunan maka dapat dimenej dengan baik. Antara tahun1972-1977, pemerintah telah melakukan upaya-upaya harmonisasi hubungan melalui dialog antarumat beragama yang menempati 21 kota.
Pada dekade 1980-1998, harmonisme, toleransi dan perdamaian juga dilakukan di era Orde Baru. Demikian pula dialog antarelit dan intelektual muda dan pemerintah yang diorganisir oleh International Conference on Religion and Peace (ICRP) dan dialog institusional, dialog antartokoh agama dan organisasi sosial keagamaan sepeti Majlis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indoneisia (PGI), Konferensi Walubi Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma, Perwakilan Umat Bhuda Indonesia (WALUBI) dst. Demikian pula yang dilakukan oleh NGO seperti the Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia/ The Inter-Faith Dialogue (Interfidei / DIAN), Paramadina, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) di Yogyakarta (yang saya termasuk perintisnya), LP3M di Jakarta, Masyarakat Dialog AntarAgama (MADIA) dst. Meskipun masih ada tensi-tensi konflik di beberapa daerah namun masih dapat diatasi. Dan hampir-hampir konflik yang terjadi itu lebih dipicu oleh faktor politik dan ekonomi.
Memasuki tahun 2023 dan tahun politik ini kita mesti melakukan upaya-upaya antisipatif terhadap hiruk pikuk dan manuver perpolitikan di negeri ini. Kita perlu menjauhkan dari konflik dan intoleransi. Sebab tahun politik cenderung menjadikan agama sebagai senjata dan alat untuk mensukseskan ambisi politik kelompok tertentu, apalagi di era digital sekarang ini. Jika kita amati di media sosial akhir-akhir ini yang jumlahnya tidak terhitung dan tidak dapat lagi dikontrol oleh pemerintah, bahwa tindak pelanggaran yang berupa hate speech, fake news (hoax)dan konflik identitas sudah semakin meresahkan. Selain unggahan-unggahan dari konten youtube yang tidak mendidik. Bahkan ceramah agama pun banyak yang menimbulkan kegaduhan dan konflik, saling menjelekkan satu sama lain dan saling menghujat sudah tidak terkontrol lagi. Dan anehnya, itu tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tapi juga elit politik itu sendiri, termasuk sebagian akademisi yang kecewa dengan pemerintah. Tidakkah yang demikian itu menjadi tontonan anak-anak kita? Maka kita mesti arif dan harus dapat menjaga atmosfir keberagamaan yang kondusif dan menjauhkan dari pengaruh politik identitas yang sudah terasa aromanya saat ini.(*)
______________
*Penulis adalah Profesor Sosiologi Agama, Rektor UIN Maliki Malang dan penulis
buku “Merawat Keberagmaan dalam Keragaman”.