Oleh: M. Zainuddin[*]
Tanggal 26-29/2/2020 Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) menyelenggarakan Konferensi Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Bangka Belitung. Seperti ungkap Waka Sekjen MUI, Najamuddin Ramli, konferensi tersebut merupakan forum yang menyatukan berbagai unsur lintas ormas Islam dalam satu kongres. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU), Said Aqil Siraj dan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Haidar Nasir dijadwalkan akan duduk bareng satu forum. Selain itu kongres tersebut juga akan mengundang Presiden dan Wakil Presiden RI serta sejumlah tokoh nasional lainnya. Sejumlah agenda yang akan dibahas dalam kongres ini antara lain: masalah pendidikan, ekonomi, Pancasila, NKRI dan Moderasi Islam (INews.id).
Peran Muhammadiyah-NU
Problem penanggulangan gerakan ekstremisme –saya lebih cocok menggunakan istilah ini dari pada radikalisme– memang tidak mudah, sebab gerakan ini semakin massif dan bersifat transnasional. Penanggulangan yang dilakukan oleh TNI-Polri maupun Densus 88 selama ini masih bersifat sporadis. Terkesan bak bermain game, begitu sasaran muncul langsung tembak. Padahal pola gerakan ekstremisme ini bersifat ideologis dan massif. Oleh sebab itu tidak cukup hanya dengan penanggulangan secara sporadis seperti yang dilakukan selama ini, maka perlu penanggulangan secara ideologis pula. Jika penanggulangan melawan gerakan ekstremisme ini tepat sasaran maka tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia yang moderat dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Dua organisasi tersebut sudah menjadi bagian dari tradisi dan bahkan pola pikir dan gaya hidup warga bangsa. Oleh sebab itu, sebetulnya tidak mudah menghilangkan atau merubah pola pikir dan gaya hidup yang sudah mendarah daging ini. Gerakan dan penetrasi ideologi dari luar (transnasional) tidak akan mudah begitu saja dapat mempengaruhi mereka, kecuali hanya bersifat sesaat dan pragmatis. Lihat saja, bagaimana para anggota gerakan ekstremisme itu adalah mereka yang direkrut dari kalangan berpendidikan rendah dan anak-anak yang kurang luas pergaulan dan pengetahuannya.
Muhammadiyah-NU, meski pada aspek tertentu berbeda (ikhtilaf), tetapi tidak pada aspek doktrin kebangsaan dan kenegaraannya. Pada aspek ini mereka memiliki visi yang sama, mempertahankan NKRI, moderat dan toleran. Dengan demikian, organisasi keislaman yang tidak membela NKRI berarti melawan arus besar (mainstream) dua organisasi Islam Indonesia tersebut. Apalagi NU nyata-nyata selalu mengusung wacana besar “Islam kultural” khas Indonesia, bahkan tema besar yang diusung adalah “Islam Nusantara”. Jelas ini merupakan penegasan, bahwa keislaman NU adalah keislaman genuin Indonesia.
Sementara itu, meski Muhammadiyah adalah organisasi Islam puritan, namun puritanisme Muhammadiyah tetap menolak ekstremisme dan penetrasi ideologi keislaman transnasional yang melakukan kekerasan atas nama agama sebagaimana yang dilakukan oleh ISIS dan kelompok Islam lain yang sejalan dengannya. Perbedaan Muhammadiyah-NU lebih pada persoalan hukum Islam (baca: fiqh) yang bersifat trivial, furu’iyyah-khilafiyyah, bukan teologis-fundamental yang menyangkut doktrin kenegaraan. Sementara itu NU dengan doktrin tawazun, tawassuth, i’tidal dan tasamuh-nya tetap menolak penetrasi ideologi Barat yang ekstrem dan segala macam bentuk kekerasan yang berbau agama, bahkan NU sering melakukan advokasi-advokasi terhadap kelompok agama atau aliran lain yang termarginalkan dan terdiskriminasi, seperti yang dialami oleh Ahmadiyah dan Syi’ah. Islam Nusantara jelas menegaskan adanya bentuk pembelaan terhadap kehidupan keberagamaan (Islam) di Indonesia yang sarat dengan budaya dan tradisi lokal yang berkembang. Namun bukan berarti bahwa akomodasi NU terhadap budaya dan tradisi tersebut menegaskan bahwa keislaman NU identik dengan budaya dan tradisi yang sudah mengakar itu sendiri, melainkan lebih merupakan bentuk dari pola dan pendekatan yang bersifat ngemong (persuasif-akomodatif) dalam berdakwah, atau dengan istilah lain “islamisasi” tradisi dan budaya, dan ini pada umumnya berada pada masyarakat desa, yang sesungguhnya juga tidak berbeda dengan Muhammadiyah yang melakukan “islamisasi” di kalangan masyarakat kota.
Sejatinya islamisasi Muhammadiyah-NU merupakan sharing islamisation, pembagian wilayah garap, dan ini seperti sebuah kesepakatan tidak tertulis dalam pembagian wilayah islamisasi di Indonesia yang dilakukan oleh the founding fathers-nya, yaitu K. Hasyim Asy’ari dan K. Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu hal ini justru merupakan modal besar Islam Indonesia dalam pembagian wilayah dakwah, dan tidak perlu dipermasalahkan. “Islam berkemajuan” dan “Islam Nusantara” yang diusung dalam tema Muktamar kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini memang perlu dirumuskan secara baik yang hasilnya dapat dijadikan sebagai platform wawasan keislaman Indonesia ke depan dan pembangunan Indonesia secara bersamaan.
Tantangan Lebih Kompleks
Muhammadiyah-NU harus menjadi organisasi Islam Indonesia yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan Indonesia, tidak hanya dulu, melainkan kini dan yang akan datang. Sebab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks seiring dengan kompleksitas dan perkembangan zaman itu sendiri. Kontribusi Muhammadiyah-NU tentu menjadi harapan semua warga bangsa untuk menentukan nasib Indonesia ke depan yang tetap utuh dalam bingkai NKRI.
Era revolusi industri 4.0 menuntut masyarakat memiliki pandangan (world-view) yang lebih luas dan bidang garap yang bersifat mondial dan humanistik. Ideologi dan bahkan agama dituntut mampu melakukan proyek atau bidang garap seperti ini, jika tidak maka ideologi dan mungkin juga agama tidak akan diminati oleh manusia, yang di dunia Barat melahirkan pemikiran apa yang disebut dengan the end of ideology. Apalagi jika agama dan ideologi kita Pancasila yang sudah final itu dipertentangkan satu sama lain. Era revolusi industri 4.0 juga menuntut relasi sosial berbasis pada pertimbangan kemanusiaan (humanisme) bukan golongan dan sektarianisme, ini artinya bahwa ideologi dan agama dituntut mampu mengedepankan dan merumuskan konsep kemanusiaan dan sosialnya secara komprehensif dan universal melintas batas etnisitas, sekte, ideologi dan agama itu sendiri. Dalam era global seperti ini, semua organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari bidang garap yang terkait dengan kelompok-kelompok pinggiran (rural societies) seperti petani, buruh, nelayan dan sebagainya. Nah, bagaimanakah Muhammadiyah-NU menghadapi persoalan ini? Bagaimana dengan watak Muhammadiyah yang puritan, elitis dan anti tradisi mampu hidup berdampingan dengan tradisi dan budaya masyarakat global dan multikultural? Haruskah Muhammadiyah bertahan dengan watak aslinya, atau bersedia melakukan adaptasi dan akomodasi dengan tuntutan budaya yang ada? Di sinilah perlunya reorientasi pembaruan (tajdid) di Muhammadiyah.
Secara ideologis, Muhammadiyah mengklaim diri sebagai organisasi sosial keagamaan yang puritan dan anti TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Konsekuensi dari ini semua adalah, Muhammadiyah tidak bisa tidak harus vis a vis dengan budaya yang mengakar dalam masyarakat, terutama di Jawa. Selama ini pembaruan dan gerakan pemikiran keagamaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah masih berkutat pada persoalan di atas. Resiko organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah yang anti tradisi ini memang tidak kecil, sebab tradisi dan budaya dalam suatu masyarakat memiliki akar yang luar biasa kuatnya. Lebih dari itu ia bahkan harus melintas batas agama tadi. Misalnya saja, keberanian untuk memprakarsai dialog antarumat beragama, doa bersama dan sebagainya. Beranikah Muhammadiyah melakukan gerakan lebih jauh seperti itu dengan jargon “Islam Berkemajuan-nya”?
Sementara itu para elit politik NU masih banyak yang terlibat pada urusan politik praktis yang berdampak pada terbengkalainya program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat. Padahal seharusnya program-program tersebut menjadi concern yang serius bagi jam’iyyah NU, sebab mayoritas jama’ah NU berada di masyarakat desa yang masih memerlukan uluran tangan elitnya. Demikian juga dalam soal pendidikan formalnya perlu digarap secara serius seiring dengan bertambahnya kelas menengah yang berpendidikan tinggi dan SDM yang semakin menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Kita masih ingat, Gus Dur dalam beberapa kesempatan selalu menyuarakan pemberdayaan umat melalui pembangunan ekonomi kerakyatan, dan salah satu bentuk komitmennya itu diwujudkan dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di beberapa daerah, hingga beliau menjadi Presidenpun yang diperjuangkan adalah masalah-masalah pemberdayaan umat ini.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah-NU sudah saatnya untuk terus melakukan evaluasi dan reorientasi dalam melakukan pembaruannya. Sebab, bagaimanapun kondisi objektif masyarakat dan konteks sosial harus dilihat secara cermat untuk melakukan dakwah ke depan. Kecenderungan-kecenderungan untuk lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat trivial, khilafiyah dan furuiyyah sudah saatnya untuk ditinggalkan. Persoalan yang lebih besar seperti kepekaaan terhadap problem-problem sosial: masalah hak-hak asasi manusia (HAM), demokratisasi, penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kemiskinan dan se-abrek isu-isu sosial lainnya merupakan lahan garap mendesak yang mesti dilakukan dan diprioritaskan oleh organisasi sosial Islam seperti Muhammadiyah-NU ini. Karena kita menyadari, bahwa selama ini secara empirik lembaga-lembaga Islam masih belum memiliki kekuatan yang berarti jika dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik yang ada. Kita sadar, bahwa pusat-pusat kebudayaan dan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh sekarang ini bukan berada pada lembaga Islam, melainkan ada pada dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga sosial kemasyarakatan Islam terancam oleh subordinasi.
Melalui kongres ini diharapkan, di bawah koordinasi MUI, sejumlah organisasi sosial kemasyarakatan Islam mampu menyatukan sikap dan langkah untuk merumuskan konsep kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, penuh kedamaian dan keharmonisan. Demikian pula mereka diharapkan dapat menurunkan tensi ketegangan dan kekerasan yang terjadi selama ini, baik secara fisik maupun simbolik, termasuk dapat mengendalikan gaya ceramah agama di medsos (youtube) yang provokatif dan menyulut perpecahan umat. Dimulai dari para tokoh Islam berbagai lintas organisasi ini juga diharapkan mampu memberikan keteladanan kepada para jama’ah-nya dalam bersikap dan bertindak, semoga.***
[*]Guru Besar Sosiologi Agama dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Maliki Malang.