Impression Management Habib Husein Ja’far: Dakwah tanpa Serban demi Menjangkau Kaum Milenial yang Tersesat

Oleh: Rois Imron Rosi

Terdapat sebuah pernyataan menarik dari salah seorang Pendakwah muda bernama Husein Ja’far sebagaimana dikutip dari IDNtimes “ada ratusan DM (direct message) yang mengatakan kepada saya bahwa mereka (kaum milenial) ingin berubah menjadi lebih baik namun tidak tahu harus bertanya ke siapa. Pertanyaannya banyak yang terkesan tidak etis, maka kalau bertanya ke Ustadz yang bersorban itu, mereka sungkan”.

Nampaknya, jawaban Habib Husein Ja’far ini menjadi representasi penampilannya yang setiap berdakwah tidak pernah terlihat memakai Serban. Hal ini ditampilkan secara reguler di setiap konten dakwahnya baik melalui kanal youtube, TikTok, maupun Instagram. Baginya, jika dia memakai serban akan membuat kaum milenial sungkan untuk mempelajari agama. Tidak hanya itu, media yang dipakai untuk dakwah lebih fokus pada media digital, sebab menurutnya, kaum milenial (seringkali disebut juga sebagai pemuda tersesat) lebih sering mengakses platform tersebut daripada menghadiri kajian keagamaan di masjid-masjid maupun tempat kajian lainnya.

Siapa sebenarnya Habib Husein Ja’far dan bagaimana dia dapat menarik atensi para kaum milenial yang katanya “tersesat” itu?

Mengenal lebih dekat Habib Husein Ja’far

Habib Husein Ja’far memiliki nama lengkap Husein Ja’far Al-Hadar. Ia lahir di Bondowoso, Jawa Timur pada Hari Selasa, 21 Juni 1988.  Ia pernah nyantri di salah satu pondok Pesantren di Bangil, Jawa Timur. Kehidupan akademiknya dituntaskan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta pada jenjang Sarjana dan Pascasarjana. Salah satu subjek yang ditekuninya adalah filsafat. Menurutnya, ia dituntut oleh orang tuanya untuk menjadi orang pintar dan salah satu cara menjadi orang pintar adalah berpikir rasional. Untuk mempelajari cara agar dapat berpikir rasional, maka filsafat adalah salah satu subjek yang harus ia kuasai. Pandangan Habib Husein Ja’far ini nampaknya mirip dengan ungkapan terkenal seorang Filsuf Yunani kenamaan, Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir, maka aku ada). Kegemarannya dalam mengolah pikiran tercermin dalam hobinya yakni mengoleksi buku sejarah. Tidak hanya seorang kolektor buku sejarah, ia juga merupakan pemilik Warung Sejarah RI, toko yang menjual berbagai buku langka.

Selain menekuni bidang filsafat, ia juga menekuni bidang Tafsir al-Qur’an. Jurusan ini nampaknya merupakan pengejawantahan cita-cita yang disematkan padanya oleh kedua orang tuanya. Sebagaimana telah seringkali dijelaskan di media digital, orang tuanya bercita-cita agar Habib Husein Ja’far menjadi seorang ulama. Salah satu ilmu yang paling penting untung dikuasai calon ulama adalah Tafsir Al-Qur’an.

Gabungan kedua ilmu di atas yang nampaknya dominan menentukan gaya dakwah seorang Habib Husein Ja’far; menjelaskan ajaran agama yang bersumber dari al-Qur’an dengan mengajak para pemuda tersesat untuk berpikir rasional dan menjadikan agama mudah diterima oleh para pendengarnya. Para kaum milenial yang tersesat itu tidak bisa langsung diarahkan agar kembali ke jalan yang lurus, namun harus terlebih dahulu diajak berpikir rasional dengan mengedepankan cinta dan kasih sayang. Strategi ini yang nampaknya berhasil membuat sosok pendakwah ini banyak mendapatkan atensi dari para kaum milenial.

Impression Management Habib Husein Ja’far

Keberhasilan Dakwah Habib Husein Ja’far dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang atau teori, salah satunya melalui teori Dramaturgi yang dicetuskan oleh Erving Goffman. Menurut teori ini, keberhasilan seseorang memikat audiens ditentukan oleh bagaimana si “aktor” mampu mengelola kesan sehingga orang yang melihatnya akan tertarik kepadanya. Kemampuan mengelola kesan ini disebut dengan istilah “Impression Management (IM)”. Dalam IM, penting untuk melihat panggung depan seseorang yang terdiri dari setting dan manner. Setting berarti tampilan fisik seseorang, sedangkan manner adalah sikap yang ditunjukkan. Kemampuan Habib Husein dapat dilihat melalui tampilan fisik dan sikap yang ditunjukkan untuk menarik atensi para audiens. Berikut beberapa tampilan fisik dan sikap yang dikelola seorang pendakwah milenial bernama Habib Husein Jafar.

Tampilan fisik pertama dan yang paling menonjol adalah tampil tanpa Serban. Penampilan ini menurutnya ditengarai adanya keengganan para pemuda untuk berkonsultasi urusan kehidupan dengan ustaz yang berserban. Dalam pandangannya, serban merupakan manifestasi dari sosok formal dan memiliki wibawa yang sulit dijangkau oleh para kaum milenial tersesat. Maka, tampilan fisiknya yang tidak memakai serban memiliki tujuan agar ia dapat menjangkau audiens yang dimaksud. Selain itu, tampilan fisik yang kedua adalah tampilan busana yang casual dengan kaos, jaket, dan sepatu kets. Menurutnya, baju casual memiliki kesan bahwa ia adalah sahabat dari para audiens yang juga menggunakan baju yang serupa. Sering dikatakan olehnya, “kalau ke pesta pakai baju renang, kan gak matching”. Atas pernyataan ini, semakin jelas bahwa baju casual yang digunakan bertujuan agar audiens merasa bahwa ia merupakan bagian dari mereka. Jika perasaan itu telah dimiliki oleh audiens, maka dakwah akan lebih mudah diterima.

Selain tampilan fisik yang paling menonjol seperti di atas, sikap yang ditunjukkan dengan penggunaan bahasa komunikasi berdasar cinta dan rasional. Juga menarik untuk dilihat. Kesan yang dikelola dengan penggunaan bahasa cinta yang tidak mudah men-judge, tidak mudah menghakimi, dan tidak mudah melarang, faktanya mampu menyentuh hati para kaum milenial yang tersesat itu. “Dakwah receh” namun berisi “daging” yang dituang dengan bahasa cinta faktanya berhasil menarik atensi para penggemar dari seorang pendakwah bernama habib Husen Ja’far al-Haddar.

Inilah sekilas Impression Management dari seorang Habib Husein Ja’far Al-Hadar yang berdakwah tanpa serban dengan tujuan menjangkau kaum milenial. Walaupun tidak semua audiens impress dengan tampilan dan kontennya, tapi minimal dengan adanya 3.8 juta follower di instagramnya, menunjukkan bahwa penikmat konten dakwah Habib Husein Ja’far sudah sangat banyak.

Editor: Nur Indah