[Tadabbur QS al-Tawbah 148] Mokhammad Yahya
Suatu saat Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah, “Hal ata alayka yawmun kana asyaddu ‘alayka min yawmi Uhud? Adakah pernah engkau lalui suatu hari yang terasa lebih berat dari hari Uhud?” Rasul menjawab bahwa kepedihan yang terasa lebih ngilu dari perang Uhud adalah peristiwa Thaif (lihat Shahih Bukhari No. 2992 dan Shahih Muslim No.3352). Selepas wafatnya kinasih dan penopang beliau Abu Thalib dan Ibunda Khadijah al-Kubra, awal Juni 619 M Rasul bersama Zaid bin Haritsah secara sembunyi-sembunyi dengan berjalan kaki menempuh perjalanan mendaki sekitar 90 km dari Mekkah menuju Thaif yang sejuk. Perjalanan ini sengaja dirahasiakan agar tidak diketahui dan menarik perhatian kaum Quraish. Harapannya Thaif menjadi lahan da’wah baru menggantikan Mekkah yang semakin congkak, tidak kondusif dan opresif.
Selama sepuluh hari menabur benih iman, tak satupun yang mengiyakan bahkan sekedar sambutan hangat bagi musafir saja tidak didapatkan. Rasul menemui, menawarkan dakwah dengan lembut kepada putra-putra Amru bin ‘Umair Ats-Tsaqafi yaitu Abdi Yalail, Mas’ud, dan Hubaib yang menjadi kepala suku penduduk Thaif. Dengan nada penuh hinaan dan cercaan salah satu diantaranya menyoal Nabi, “Dia akan menyobek-nyobek kain pakaian Ka’bah. Apakah benar Allah mengutusmu sebagai Nabi?.” Yang kedua berkata, “Apakah memang Allah tidak mendapatkan orang lain selain kamu?.” Dan yang ketiga meradang, “Demi Allah, aku tidak akan berhubungan denganmu. Karena sekiranya kamu sebagai Rasul, tentu kamu orang yang sangat berbahaya jika aku membantah ucapanmu dan jika kamu berbohong maka wajib bagiku untuk tidak berbicara denganmu.” Maka Rasulullah saw beranjak meninggalkan mereka seraya berpesan kepada mereka, “Jika kalian bersikap demikian, maka tolong rahasiakanlah masalahku ini.”
Namun tak disangka, mereka justru berencana busuk. Mereka memprovokasi preman dan orang-orang jahilnya untuk berdiri disepanjang jalan yang dilalaui Nabi lalu melempari beliau dengan batu hingga kaki dan tubuh beliau berdarah, demikian juga Zaid bin Haritsah yang menjadi perisai hidup Rasulullah. Setelah berlari dari kejaran orang-orang yang menganiayanya, Rasulullah akhirnya tiba di kebun anggur milik uqbah bin Rabi’ah, dan ditempat ini beliau merintihkan doa pilu, dua al-mustadhafin. Rasul saw mengiba“Ya Allah, kepadaMu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai zat yang maha pengasih lagi maha penyayang, Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajahMu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murkaMu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenanMu”
Masih dengan wajah bersedih Rasul tidak menyadari diri ketika di Qarnust-Tsa’âlib, ketiba malaykat Jibral mendatanginya dan berkata, ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. Dalam riwayat Ikrimah, seperti dikutip penulis tafsir al-Durr al-Mantsur, dituturkan bahwa malaikat gunung ( malak al-jibal) berkata,” Sesungguhnya Allah memerintahku untuk tidak melakukan apapaun kecuali atas perintahmu, jika engkau mau aku timpakan gunung atas mereka hingga hancur lebur, atau jika engkau berkenan aku lempari mereka dengan bebatuan dan atau jika engkau berkehendak aku tenggelamkan mereka semua kedalam perut bumi? Rasul menjawab,”Wahai malaikat gunung, sesungguhnya yang aku harapkan atas mereka mudah mudahan akan muncul dari mereka dzuriyyat keturunan yang akan mengucapkan la ilaha illallah. Malaikat lalu terkagum berkata,” Engkau sebagaimana Rabbmu menamaimu Rauf rahim.” Anta kama sammaka Rabbuka Raufun Rahimun.
Sifat agung Rasulullah ini direkam dalam akhir surat al-Tawbah. Allah berfirman,“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keamanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan (rauuf) lagi penyayang (rahiim) terhadap orang-orang mukmin.’” (At-Taubah:128). Rauuf adalah bentuk penyangatan/muballaghah (superlatif) dari al-ra’fat demikian juga rahiim juga bentuk muballaghah dari al-rahmat. Ibn Asyur dalam al-tahrir wa al-tanwir menjelaskan al-ra’fah adalah belas hati dan kasih sayang yang tumbuh dari derita yang dialami oleh yang disayangi sementara al-rahmat adalah belas hati yang tumbuh karena ingin berlaku baik (ihsan) kepad yang disayangi. Rauuf didahulukan dari rahiim karena menghilangkan kesedihan lebih harus didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan. Dalam kaidah fiqh ditegaskan, darul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih.
Bahkaan Rauuf dan Rahiimnya Nabi ini tidak saja berlangsung didunia tapi juga kelak saat manusia berduyun duyun mendatangi nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa untuk meminta syafaat kepada Rabb al-Alamin dihari kiamat. Merekapun menolak karena ketiadaan hak untuk memberi syafaat. Dan hanya Rasul yang mengiyakan seraya berkata, “ana laha ana laha/ Ya aku punya hak.” Rasul lantas meminta izin pada Rabbnya. Nabipun tersungkur sujud di hadapan-Nya dengan bacaan tahmid terindah yang dilhamkan Allah kepadanya.” Hingga Allah berfirman, “Wahai Muhammad, angkat kepalamu. Permintaanmu akan didengar. Mintalah, engkau akan diberi. Berilah syafa’at, syafa’atmu akan diperkenankan.” Nabi berkata, “Wahai Rabbku, umatku, umatku.” Sujud dan permohonan penuh welas asih ini kemudian disertai dengan keterkabulan “Keluarkanlah (dari neraka) yang masih memiliki iman dalam hatinya seberat gandum.” Keduakalinya seusai sujud beliau memelas kembali, “Wahai Rabbku, umatku, umatku.” Lalu disebutkan, “Keluarkanlah (dari neraka) yang masih memiliki iman dalam hatinya sebesar biji sawi.”
Tanpa jera kali ketiga seusai sujud khidmat itu, Rasul meminta lagi, “Wahai Rabbku, umatku, umatku.” Lalu disebutkan, “Keluarkanlah yang masih memiliki iman dalam hatinya yang lebih kecil, lebih kecil, lebih kecil dari biji sawi. Keluarkanlah ia dari neraka. Hal itu pun terlaksana.” Sunnguh menkajubkan, tanpa menyerah kini untuk kali keempat beliau mengiba, “Wahai Rabbku, izinkanlah aku memberikan syafa’at pada orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’.” Allah berfirman, “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sungguh aku akan keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaha illallah.” (HR. Bukhari no. 7510 dan Muslim 193)
َ