Meneladani Praktik Baik Pendidikan Moderasi Beragama dari Desa Pancasila

Oleh: Sigit Priatmoko*

Pendidikan Moderasi Beragama (MB) selama ini banyak dikaji oleh semua elemen masyarakat; utamanya akademisi. Mereka mendiskusikan wacana-wacana moderasi hingga memformulasikan berbagai upaya demi merealisasikan masyarakat yang moderat. Demi mendukung hasil diskusi tersebut, nampaknya praktik baik moderasi beragama yang telah eksis di Indonesia perlu juga untuk ditampilkan. Salah satu daerah yang dapat memotret praktik moderasi beragama tersebut ditemukan di salah satu Desa di Kabupaten Lamongan. Desa tersebut bernama Desa Balun, Kecamatan Turi. Desa yang terletak sekitar 4 km dari pusat Kabupaten Lamongan ini mendapatkan julukan sebagai Desa Pancasila. Julukan ini diberikan lantaran masih terjaganya keharmonisan koeksistensi tiga agama yang dianut masyarakat Balun, yakni Islam, Kristen, dan Hindu meskipun isu politik identitas hilir-mudik di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan tiga rumah ibadah (masjid, gereja, dan pura) yang berdiri saling berdekatan.

Keragaman agama di Balun sudah berlangsung cukup lama. Menurut penelusuran Ulum (2019), sikap toleran masyarakat Balun sudah mulai ada sejak masuknya ajaran Islam ke wilayah ini yang dibawa Sunan Tawang Alun I (Mbah Alun). Nama Balun sendiri diambil dari nama penyebar Islam tersebut, dari “Mbah Alun” menjadi “Balun”. Kedatangan Mbah Alun disambut baik masyarakat setempat sehingga ia mampu menyebarkan ajaran Islam di sana. Metode dakwah yang digunakan Mbah Alun mirip seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga, yaitu dengan mengakomodasi budaya masyarakat dan menjadikannya sebagai media dakwah. Hasilnya, Islam diterima dengan baik di tengah kepercayaan Kejawen dan Hindu-Budha pada waktu itu. Kristen baru masuk ke desa ini pada tahun 1967 dan terus berkembang hingga sekarang.

Bagi masyarakat Balun, perbedaan agama telah menjadi realitas sosial yang wajar sehingga tidak perlu dipersoalkan apalagi diperdebatkan. Mereka bahkan tanpa canggung saling bekerja sama tidak hanya dalam urusan pekerjaan, tapi juga dalam urusan tradisi dan budaya. Sebagai contoh, ketika ada kenduren, semua tetangga sekitar diundang bahkan juga ikut membantu tanpa mendiskriminasi latar belakang agama yang diyakini. Sikap toleran tersebut sudah terbentuk bersamaan dengan munculnya keragaman agama di desa ini, sehingga telah menjadi nilai dan norma yang mengakar kuat di tengah mereka.

Berangkat dari mengakarnya sikap toleran di tengah masyarakat Balun tersebut, proses pendidikan multikultural yang berlangsung di sana memperoleh modal penting. Kenyataan ini saya jumpai pada waktu melaksanakan penelitian di desa tersebut. Tepatnya, di SDN 1 Balun. Salah satu daya tarik dari sekolah ini adalah jumlah agama yang dianut siswanya, yaitu tiga agama (Islam, Kristen, dan Hindu). Selisih jumlah siswa beragama Islam dan Kristen tidak terpaut jauh. Siswa beragama Islam sebanyak 41 anak, sedangkan yang beragama Kristen sebanyak 27 anak. Agama Hindu menjadi agama minoritas yang dianut siswa, jumlahnya hanya 5 anak (Priatmoko, 2023).

Keragaman keyakinan tersebut mampu dikelola dengan baik oleh SDN 1 Balun. Tidak terjadi diskriminasi dalam interaksi sosial baik antara guru dengan siswa, maupun antara siswa dengan sesamanya. Perbedaan keyakinan tidak pernah menjadi pemicu konflik. Berdasarkan penelusuran penulis melalui wawancara dengan beberapa siswa di SDN Balun I dan mengamati pola interaksi yang terjadi di antara mereka, serta berdasarkan analisis terhadap beberapa literatur hasil penelitian di sana, setidaknya ada lima sikap dan perilaku yang menggambarkan kristalisasi pengalaman beragama mereka yang berdialog dengan lingkungan sosial yang multikultur. Lima sikap dan perilaku tersebut yaitu inklusif, humanis, toleran, adil, dan persaudaraan. Kelima sikap dan perilaku tersebut tidak terpisah antara satu dengan yang lain, melainkan terjadi interkoneksi di antaranya (Priatmoko, 2023).

Lima sikap tersebut dapat terbentuk dalam diri siswa karena adanya sinergi yang kuat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat (tri pusat pendidikan). SDN 1 Balun memberikan pendidikan tanpa diskriminasi berdasarkan latar belakang agama. Meski untuk saat ini fasilitas tempat ibadah yang disediakan masih sebatas musholla, namun bukan berarti pendidikan agama untuk siswa Kristen dan Hindu tidak diperhatikan. Siswa yang beragama Kristen dan Hindu dapat melaksanakan ibadah atau pendidikan agama di Pura dan Gereja yang terletak di dekat sekolah. Untuk memberikan pemahaman empirik tentang keragaman budaya dan keyakinan, guru mengajak siswa berkunjung ke Masjid, Gereja, dan Pura.

Sebagai lembaga pendidikan yang berada di tengah lingkungan sosial multikultural, SDN 1 Balun memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga kohesi sosial dan menjaga koeksistensi antar pemeluk agama yang telah berlangsung lama di sana. Berdasarkan penuturan Kepala Sekolah dan guru, SDN 1 Balun tidak menerapkan strategi khusus untuk menanamkan sikap toleran dalam diri siswa. Kebiasaan interaksi para guru sehari-hari telah menjadi model bagi siswa untuk belajar bagaimana bersikap inklusif, toleran, dan egaliter dengan sesama. Penanaman sikap inklusif, toleran, dan egaliter di SDN 1 Balun dilakukan melalui upaya pembiasaan. Misalnya ketika sedang program kegiatan keagamaan Islam, seperti Salat Dhuha berjamaah, siswa beragama Kristen dan Hindu diberikan aktivitas lain sambil menunggu kegiatan Salat Dhuha selesai. Selain melalui pembiasaan atau hidden curriculum, penanaman nilai-nilai moderat juga melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler (Priatmoko, 2023).

Selain sekolah, keluarga juga berperan penting dalam penanaman sikap-sikap moderat dalam diri siswa. Keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak menurut pandangan Islam. Sebagaimana hadits Nabi, keluarga berperan besar dalam mengembangkan potensi (fitrah) yang dimiliki anak. Dalam hal penanaman sikap moderat, keluarga siswa SDN 1 Balun telah menjadi role model bagi mereka terkait bagaimana sikap dan etika berinteraksi sosial dalam konteks sosial yang multikultural dan multi agama. Contoh langsung yang diberikan sejak dini oleh keluarga tersebut kemudian¾meminjam konsep Peter L. Berger¾mengalami proses internalisasi. Proses internalisasi merupakan upaya individu menangkap dan menafsirkan pengetahuan objektif melalui sosialisasi primer di masa anak-anak dan sosialisasi sekunder di masa selanjutnya. Singkat kata, siswa SDN 1 Balun telah mengalami pembiasaaan bersikap toleran sejak dini. Sehingga, sikap tersebut telah secara alamiah menjadi bagian dari nilai hidup mereka.

Peran masyarakat juga sama besarnya dengan sekolah dan keluarga. Realitas sosial yang menjunjung tinggi toleransi atas perbedaan agama dan budaya menjadi lingkungan atau meilieu yang mendukung proses internalisasi nilai-nilai moderat dalam diri siswa. Sebagaimana dijelaskan di atas, masyarakat Balun telah memandang keragaman keyakinan dan tradisi di antara mereka sebagai realitas (bahkan identitas?) yang tidak dapat dipisahkan dari diri mereka. Potret ralitas sosial yang demikian menjadi gambaran yang ideal bagi siswa bagaimana menghadapi dan mengelola perbedaan dalam kehidupan.

Resonansi dan sinergi antara tri pusat pendidikan di atas membentuk sebuah ekosistem pendidikan Moderasi Beragama yang efektif dalam menumbuhkan sikap-sikap moderat. Praktik baik ini menurut pengamatan saya, layak untuk diteladani baik oleh satuan pendidikan lain, maupun orangtua dan masyarakat. Sementara bagi pemerintah, praktik baik sejenis yang telah ada di tengah masyarakat di daerah-daerah lain perlu untuk ditularkan dan menjadi pertimbangan dalam merumuskan regulasi penguatan MB ke depannya. Perlu ada upaya yang sistematis dan masif untuk mempromosikan kekayaan kultural semacam ini, sehingga masyarakat dapat dengan mudah memahami dan merasakan betapa indahnya keragaman, jika kita mengamalkan nilai-nilai moderat dalam beragama.

*Penulis adalah Dosen Pancasila di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Editor: Lingga Saniman Drajad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *