Oleh: M. Zainuddin*
RAKYAT Indonesia akan menggelar pesta demokrasi Pemilu 2024 tepatnya pada 14 Februari, yang terdiri atas Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Pemilu serentak ini adalah pertama dalam sejarah RI dan dengan anggaran hingga mencapai Rp. 76 triliun. Meski masih lama, namun saat ini sudah mulai terjadi hiruk-pikuk perpolitikan di antara para calon pengusung partai, bahkan di media sosial konten dari para pendukung bakal calon sudah mulai saling serang baik melalui kanal youtube, podcast, TikTok dan seterusnya. Hiruk-pikuk saling hujat sudah mulai ramai, saling mengklaim kehebatan bakal calon masing-masing dan menjatuhkan pasangan bacalon yang lain.
Sejatinya Pemilu adalah mencari figur pemimpin yang dapat menjalankan roda pemerintahan dengan penuh tanggung jawab, jujur dan amanah, sehingga dapat membawa keadilan dan kemakmuran suatu negara. Pemilu sendiri merupakan proses yang mesti dilalui dan dilaksanakan secara demokratis, bebas dan rahasia, jujur dan adil. Tentu sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka sudah seharusnya memilih pemimpin dengan kriteria yang ditunjukkan dalam ajaran Islam, dan dicontohkan oleh figur panutan, yaitu Rasulullah Saw., baik dari aspek ujaran, tindakan dan keputusan yang ditetapkan. Bagaimana kepemimpinan ideal beliau?
Kepemimpinan Profetik
Dalam perspektif historis, Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Tuhan ke dunia untuk memperbaiki mental manusia (akhlak karimah) dan membawa sistem ajaran yang demokratis, yaitu pesan bahwa segala urusan dan keputusan menyangkut orang banyak (umat) harus dimusyawarahkan bersama dan dipertanggungjawabkan di hadapan publik dan Tuhan sebagai Hakim Tertinggi. Karena kebenaran datang dari Tuhan, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada raja atau pemerintah.
Secara empirik kemudian Nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja dan kelompok elit saat itu kepada kekuasaan Tuhan melalui sistem musyawarah. Kehadiran Nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” saat itu yang mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yang dibawa beliau sejatinya adalah sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial: persamaan hak, persamaan derajat diantara sesama manusia, kejujuran dan keadilan.
Selama kurang lebih sepuluh tahun di Madinah, beliau telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat ideal. Dan masyarakat yang dibangun beliau saat itu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan. Masyarakat seperti yang disepakati dalam rumusan Piagam Madinah, yaitu masyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antarmanusia maupun dengan Tuhan dan alam semesta.
Kasih sayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang plural. Dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah, beliau berpesan kepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab beliau ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk surga. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali.
Salah satu sifat pemaaf dan toleransi Nabi itu tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seorang paman Rasulullah sendiri dan pahlawan perang yang terhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa Nabi tidak akan pernah memaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga, ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang saat itu pada akhirnya dimaafkan. Melihat sikap Nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, “bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia biasa.” Tidak hanya itu saja, sikap politik beliau yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin modern saat ini adalah, pemberian amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap beliau yang legowo dan lemah lembut itu justru membuat mereka tertarik dengan Islam, sebagai agama rahmatan lil-’alamin.
Seperti yang dicatat oleh Akbar S. Ahmed (1992) seorang penulis sejarah Islam kenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh Nabi yang hanya menelan korban kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang paling sedikit menelan korban jiwa di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusi besar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan seterusnya. Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik dengan penindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaum orientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itu secara tegas beliau pernah menyatakan: “Harta rampasan perang tidak lebih baik dari pada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaum perempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah.
Beyond Primordialism
Nilai-nilai islami yang tercermin dalam figur beliau yang melampaui batas ikatan primordialisme dan sektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang plural. Perkawinan beliau dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadap Bilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonya pada kesempatan haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telah membuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya. Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Ashgar Ali (1993), bahwa konsep jihad (berjuang) dalam perspektif Islam tidak memaksa orang untuk memeluk Islam sebagai sebuah agama, melainkan berjuang untuk memerangi kemungkaran dan mengakhiri penindasan oleh orang kuat (al-mustakbirin) terhadap orang lemah (al-mustadh’afin).
Semua utusan Tuhan digambarkan dalam al-Qur’an sebagai pembela al-mustadh’afin untuk menghadapi al-mustakbirin, seperti Musa yang digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel dari penindasan raja Fir’aun, sebagaimana frman Allah: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang mewarisi bumi” (Q.S.28:5).
Nabi diperintahkan oleh Allah ke dunia untuk membebaskan masyarakat Arab dari krisis moral dan sosial. Secara tegas beliau berani memberantas praktik-praktik oligarki dan oligopoli dan segala praktik akumulasi kekayaan yang diperoleh secara ilegal oleh konglomerat Arab saat itu. Dan gerakan reformasi beliau itulah yang kemudian membuat mereka berang dan merasa terancam kepentingannya. Sampai-sampai beliau dan keluarganya diboikot dari hubungan kerja dan pergaulan. Oleh sebab itu seperti penilaian Ahmad Amin (1993), bahwa pada hakikatnya kelompok hartawan Makkah saat itu bukan tidak mau menerima ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi terhadap penyembahan berhala, melainkan yang sangat mereka risaukan adalah gerakannya yang mengarah kepada “ancaman” praktik monopolistik dan eksploitatif yang mereka lakukan.
Pengaruh reformasi Nabi betul-betul mengguncang dunia dan dengan waktu kurang lebih sepuluh tahun beliau mampu mewujudkan sebuah masyarakat ideal, masyarakat yang secara sosiologis berada dalam kelas kesejajaran (egaliter), atau kalau menurut Ashgar Ali, “masyarakat tanpa kelas”. Status manusia tidak diukur oleh kekayaan maupun jabatan, melainkan diukur oleh kesalehannya.
Ada empat langkah yang beliau ditempuh dalam membentuk masyarakat Islam saat hijrah ke Madinah kala itu: Pertama, mendirikan masjid yang diberi nama Baitullah (rumah Allah). Masjid inilah yang kemudian menjadi sentral kegiatan umat Islam, mulai dari praktik ritual (beribadah), mengadili perkara, majlis ta’lim, bahkan jual-beli pernah dilakukan di kawasan masjid tersebut. Hanya mengingat kondisi yang tak memungkinkan, maka pada akhirnya harus dipindahkan. Masjid tersebut juga merupakan pusat pertemuan kaum muslimin dari seluruh wilayah Islam. Kedua, mempersatukan kelompok Anshar dan Muhajirin yang berselisih. Ali ra. dipilih sebagai saudara beliau sendiri, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah Ibn Zuhair dan Ja’far Ibn Abi Thalib dipersaudarakan dengan Muaz Ibn Jabbal. Demikianlah beliau telah mempersatukan tali persaudaraan yang berbasis agama sebagai pengganti dari persaudaraan yang berbasis ras dan suku sebagaimana yang telah dipraktikkan orang-orang Jahiliyyah sebelumnya. Ketiga, perjanjian saling membantu antara kaum Muslim dengan non-Muslim. Penduduk Madinah saat itu terdiri dari tiga golongan: kaum Muslimin, Yahudi (yang terdiri dari Bani Nadhir dan Quraidhah) dan bangsa Arab yang masih pagan (penyembah berhala). Karena itu nabi mempersatukan mereka dalam satu masyarakat yang terlindung, sebagaimana yang terumuskan dalam Piagam Madinah. Keempat, meletakkan dasar politik, ekonomi dan sosial bagi terbentuknya “masyarakat baru”.
Seperti analisis Montgomery Watt (1989), hijrah beliau pada tahun 622 M menunjukkan permulaan kegiatan politiknya, namun beliau tidak dengan tiba-tiba mendapatkan kekuatan politik yang begitu besar itu melainkan tumbuh dengan perlahan-perlahan. Konsesi politik dengan warga Madinah yang akan beliau masuki (ketika beliau masih berada di Makkah) merupakan emberio pembentukan badan politik baru, yang didalamnya terdapat kelonggaran untuk merealisasikan potensi politik dari pesan-pesan wahyu.
Itulah sosok Muhammad, orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Makkah secara serius, radikal dan humanistik. Beliau tidak sekadar menyeru orang untuk menyembah Tuhan YME (bertauhid), melainkan juga membangun masyarakat baru yang demokratis, berperadaban, dan tidak korup dengan kepribadiannya yang jujur (shiddiq), dapat dipercaya (amanah), komunikatif (tabligh) dan cerdas (fathanah). Tidak berlebihan jika Michael Hart dalam laporan penelitiannya: The 100: A Ranking of Most Influential in History, menempatkan beliau sebagai tokoh peringkat pertama yang paling berpengaruh di dunia. “Islam yang dibawa Muhammad memang tidak menciptakan dunia modern, tetapi Islam merupakan agama yang paling tepat dan cocok untuk dunia modern”. Demikian ungkap Gellner.
Jika saja para pemimpin negeri ini dapat meneladani figur Rasul Muhammad Saw tersebut, baik dari aspek ujaran, tindakan dan pengambilan keputusannya itu, maka Indonesia dapat menjadi negara yang gemah ripah loh jinawe (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur), terdepan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), insya Allah(*).
*Penulis adalah Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Editor: Alberda Salma