MAULID NABI: MOMENTUM MENEBAR WAJAH ISLAM YANG RAHMAH

Oleh: Rois Imron Rosi

Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momentum penting bagi kaum Muslimin. Sebagaimana sebuah momentum, ia layaknya memuat berbagai pelajaran berharga. Ada banyak sekali pelajaran berharga yang dapat dipetik dari diri Nabi. Pertanyaannya, kepribadian Nabi yang mana yang seyogianya dipelajari dan direnungi oleh orang Islam di momen penting seperti sekarang?

Seorang Nabi dalam al-Qur’an secara spesifik diberi karunia berupa rahmat. Ada berbagai Redaksi yang termaktub dalam al-Qur’an tentangnya seperti “atainahu rahmatan”, “wa hudan wa rahmatan”, dan lainnya. Sederhananya, Rahmat merupakan sebuah karunia yang diperoleh para Nabi karena spesialitas penghambaan kepada Allah. Allah memberikan rahmat kepada Nabi sebagai pribadi yang spesial. Bagaimana dengan Nabi Muhammad? Nabi Muhammad tidak secara spesifik diberi rahmat olehNya, namun beliaulah manifestasi dari Rahmat Allah itu sendiri. “wa ma arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamin”. Bahkan Rahmat yang termanifestasi dalam diri Nabi, tidak semata-mata untuk orang Islam, tapi untuk alam semesta seluruhnya; Manusia, Malaikat, Jin, dan semua makhluk di alam semesta.

Lalu, bagaimana kita memahami Rahmat? Rahmat adalah kasih sayang yang tercermin sempurna dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Barangkali dua contoh kejadian dalam kehidupan Nabi berikut dapat membantu para pembaca memahami esensi rahmat.

Pertama, pasca perang Uhud, saat para pasukan pemanah hendak mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Rasulullah. Dimana, mereka merupakan “penyebab utama” kekalahan pasukan Islam dan syahidnya 70 orang sahabat termasuk Sayyidina Hamzah. Bagaimana respon Nabi? “linta lahum”, lembut hatinya hingga tidak ada kata kotor yang muncul dari lisan beliau kepada mereka. Sikap lembut kepada orang Muslim yang melakukan kesalahan adalah sebuah ajaran Islam yang termanifestasi dalam diri Nabi Muhammad. Bahkan tidak hanya itu, tapi ditambah dengan “fa’fu ‘anhum”, “wastaghfir lahum” dan “Syawirhum fil amr”, Rasulullah tidak hanya berkata lembut, namun juga memaafkan kesalahan, memintakan ampun atas kesalahan itu kepada Allah, lalu masih melibatkan para pasukan tersebut dalam urusan agama Islam. tidak meninggalkan mereka sedikitpun. Inilah bukti rahmatnya Allah yang termanifestasi dalam diri Nabi Muhammad.

Bukankah seharusnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad juga membawa spirit yang sama? Muslim pengikut Rasulullah seyogianya tidak mudah saling bercerai-berai, tidak mudah saling melaknat, juga tidak mudah saling menyalahkan sehingga menimbulkan konflik di dalam tubuh Islam itu sendiri. Bukankah pesan Nabi “orang Mukmin satu dengan lainnya ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan”? ini kiranya pelajaran pertama dari contoh pertama ini.

Kedua, Hindun Bin Utbah yang dikenal sebagai Akilatul Kibdah (Pemakan Hati Sayyidina Hamzah) yang akhirnya berbaiat di hadapan Nabi Muhammad SAW. Dulunya dia merupakan perempuan pendiam, jago sya’ir, cerdas, dan penyayang keluarga. Bahkan menurut At-Thabari, dia bahkan memiliki kedekatan dengan putri Nabi. perubahan kepribadiannya dimulai ketika ia kehilangan 4 orang keluarganya di perang Badar. Hindun berjanji tidak akan menangis dan akan membalas dendam sampai puas. Ungkapan Malcolm X sepertinya cocok untuk menggambarkan perubahan Hindun, katanya “usually, when people are sad they don’t do anything, but when they get angry, they bring about a change”. Kemarahan Hindun-lah yang merubahnya menjadi pribadi yang mengerikan. Sampai, sangat menyakiti Nabi dan kaum muslimin di perang Uhud.

Apakah selamanya Nabi tidak memaafkan Hindun atas perangainya yang menyeramkan itu? faktanya tidak. Beberapa tahun setelah kejadian memilukan di perang Uhud, Hindun menyatakan keislamannya di hadapan Nabi, beliau mengampuni kesalahannya, bahkan beliau sempat tersenyum menandakan betapa luas pintu maaf yang dimiliki Nabi sebagaimana Allah yang merupakan Dzat yang maha pemaaf. Hampir mirip pula dengan kisah Wahsyi bin Harb (Qaatilu Hamzah) yang akhirnya mendapatkan maaf dari yang Sang Maha Pemaaf.

Bukankah memilukan, jika Nabi pembawa ajaran Islam telah mengajarkan cara berislam yang dipenuhi dengan kasih sayang, persaudaraan, dan keindahan dinodai dengan perilaku yang bertolak belakang berupa saling berpecah-belah, saling memaki, ataupun permusuhan? Jika mengaca pada Nabi Muhammad, mungkin perilaku kita masih jauh dari karakter beliau, namun, bukankah penting untuk kita masifkan kembali ajaran Nabi yang penuh kasih sayang (Rahmah) ini kepada seluruh alam semesta. Maka, mari dengan momentum Maulid Nabi kita kembali menebarkan wajah Islam yang Rahmah dengan niatan meniru jejak teladan Nabi Muhammad SAW.