اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ
Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu. Your striving for what has already been offered to you and your negligence in what is demanded of you show the deterioration of your insight
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Maksud dari “apa yang telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah.
Allah s.w.t. berfirman: “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (al-‘Ankabūt [29]: 60).
Sementara itu, maksud dari “kekurangmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan ‘amalan-‘amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti zikir, shalat, dan wirid. Allah s.w.t. berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (al-‘Ankabūt [29]: 56).
Yang dituntut dari seorang murīd ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan zikir-zikir kepada Allah dan melakukan ‘amalan-‘amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.
Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.
Dalam hikmah di atas, Ibnu ‘Athā’illāh menggunakan lafaz “kegigihan” untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murīd karena tidak menyebabkan buta mata hatinya.
[Ulasan dari syeikh ‘Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi dalam al-Minah al-Qudsiyyah ‘ala al-Hikam al-‘Athaiyyah]