Oleh: M. Zainuddin*
Pendahuluan
Hingga saat ini kita masih dihadapkan pada persoalan yang meililit bangsa. Berbagai persoalan, baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya begitu menumpuk. Praktik korupsi, dan segala macam tindak kekerasan telah mengakar sedemikian rupa seakan menjadi bagian dari budaya bangsa itu sendiri. Ketegangan dan kerusuhan yang bernuansa agama di beberapa daerah di Indonesia juga belum reda. Fenomena tersebut menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Padahal secara historis, bangsa Indonesia telah memiliki modal nasionalitas yang amat berharga, seperti: kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan yang meliputi seluruh tanah air, jajaran militer sebagai tulang punggung ketertiban dan keamanan nasional.
Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai umat beragama? Bagaimana pendidikan agama kita? Bagaimana peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antar maupun internumat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimaksud.
Perdebatan di Seputar Peran Pendidikan Agama
Pendidikan agama, baik dalam konteks nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari dunia secara umum, kini tengah menghadapi tantangan yang lebih berat. Agenda besar yang dihadapi bangsa Indonesia kini adalah, bagaimana menciptakan negara yang aman, adil dan makmur dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang didukung oleh warga negara yang berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu maka pendidikan agama dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan tatanan Indonesia (baru), dengan merumuskan langkah-langkah pengembangannya. Pertanyaan lebih spesifik adalah, apakah pendidikan yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan Islam sudah memenuhi fungsi dan sasarannya?
Menurut Kuntowijoyo, bahwa pendidikan saat ini secara empirik masih belum mempunyai kekuatan yang berarti karena pengaruhnya masih kalah dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik. Disinyalir, bahwa pusat-pusat kebudayaan sekarang ini bukan berada dalam dunia akademis, melainkan di dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga pendidikan terancam oleh subordinasi.
Pernyataan di atas penulis kira tidak berlebihan, termasuk dalam konteks ini adalah peran lembaga pendidikan Islam yang masih dipertanyakan keberadaannya. Fenomena yang kita lihat selama ini adalah, bahwa mayoritas umat Islam masih kurang menghargai nilai-nilai Islam itu sendiri, misalnya disiplin waktu, menepati janji, menjaga ketertiban dan keamanan, dan hal-hal lain yang mestinya harus diperhatikan oleh umat Islam. Kemudian, kenapa masih terjadi kesenjangan antara nilai dan praktik keberagamaan dalam masyarakat muslim? Dan peran apa yang bisa diberikan oleh lembaga pendidikan dalam konteks ini?
Permasalahan yang dihadapi masyarakat Islam saat ini tidak lepas dari faktor modernisasi dan globalisasi yang berdampak pada semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, politik, dan juga pendidikan. Pengaruh modernisasi telah memiliki andil besar dalam merubah gaya dan pola hidup pada hampir semua lapisan masyarakat, termasuk masyarakat Islam. Perdebatan di seputar pendidikan agama di sekolah terkait dengan maraknya distruksi sosial memang tidaklah baru. Tetapi yang menarik, analisis kebanyakan pengamat dan pakar selalu menuding kegagalan itu pada sistem pendidikan yang dianggap masih normatif, verbalistik dan simbolistik.
Secara ekstrem, Haidar Bagir misalnya menegaskan, bahwa pendidikan agama di Indonesia telah gagal. Menurutnya, ada dua hal yang menjadi sebab utama kegagalan tersebt, pertama, karena pengajaran agama selama ini dilakukan secara simbolik-ritualistik. Agama diperlakukan sebagai kumpulan simbol-simbol yang harus diajarkan kepada anak didik dan diulang-ulang tanpa memikirkan korelasi antara simbol-simbol tersebut dengan kenyataan dan aktivitas sosial di sekeliling mereka, agama hanya dipahami sebagai norma-norma legalistik yang kehilangan ruh moralitasnya; kedua, karena tidak adanya keseimbangan tiga ranah nilai: kognitif, afektif dan psikomotorik. Karena kuatnya tekanan terhadap aspek kognitif itulah, sehingga anak didik menjadi tidak tawadhu’.
Hasil observasi yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN), telah mengungkap hal yang sama. Bahwa perilaku keberagamaan dari sejumlah kota-kota besar yang ada di Indonesia mayoritas masih menekankan pada dimensi kesalehan individual. Bersamaan dengan itu pula, fenomena KKN, intoleransi, dan eksploitasi juga marak di mana-mana. Padahal fenomena secam ini akan mudah dilerai melalui pendekatan pendidikan agama yang perhatian pada wawasan individul dan sosial secara bersamaan.
Menurut hemat penulis, kita semua bertanggung jawab untuk segera melakukan upaya kongkret ke arah perbaikan itu, yaitu reorientasi pendidikan agama. Reorientasi pendidikan agama dimaksud tidak cukup hanya menyangkut hal-hal luar seperti ritual-seremonial, persoalan halal-haram, dan sederet kesalehan ritual-formalistik lainnya, melainkan lebih dari itu adalah inti dan makna yang terdalam dalam pendidikan agama itu sendiri.
Dengan demikian, konsep tentang pentingnya pendidikan bagi terciptanya kesadaran sosial yang humanis, toleran dan inklusif sangat urgen. Dari kajian ini pula kita dapat melihat di mana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan oleh Kementerian Agama selama ini. Di sinilah perlu ada penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan tersebut. Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang ada kesan, bahwa materi yang tertuang dalam buku ajar selama ini masih parsial dan baru menyentuh pada aspek formalnya, sementara spirit atau ruh-nya belum banyak disentuh. Dengan kata lain, pendidikan agama selama ini masih terjebak pada upaya membuat orang sekadar beragama dan mengerti ajaran agama, tetapi belum sepenuhnya mendorong untuk beramal saleh dan menciptakan ketertiban dan keamanan. Padahal religiusitas adalah sikap dasar yang membuat orang beramal kebajikan, penuh cinta kasih, lembut hati sekaligus memiliki solidaritas kemanuisaan universal (baca: ihsan). Inilah persoalan yang sangat inti dalam beragama yang seharusnya menjadi potret pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan agama.
Jika pendidikan agama bukanlah sekadar memberikan pelajaran agama secara rutin oleh guru di sekolah –melainkan penanaman jiwa agama yang dimulai dari pendidikan keluarga sejak dini, dengan jalan membiasakan anak-aanak untuk berbuat kebajikan– maka seperti apakah pemaknaan pendidikan agama di lembaga pendidikan agama itu?
Reorientasi Pendidikan Agama di Sekolah
Perbincangan soal upaya perbaikan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan agama terasa sangat dilematis. Di satu sisi guru masih dilihat sebagai satu-satunya elemen terpenting, sehingga kualitas pendidikan apapun harus dimulai dari guru. Sementara itu Gorton telah menempatkan muatan buku ajar sebagai elemen yang secara bersamaan juga harus diperhatikan. Padahal selama ini perhatian serius di seputar materi buku ajar yang ada di sekolah –sebagaimana yang disinyalir Gorton– belum banyak dilakukan.
Pesan-pesan materi pendidikan agama hendaknya mencerminkan sifat toleran, inklusif, dan humanis. Karena pendidikan agama adalah upaya menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agamanya melalui kegiatan pengajaran dan bimbingan secara berkesinambungan, maka antara guru dan buku ajar sebagai elemen proses pembelajaran secara bersamaan harus diperhatikan.
Jika agama yang dipentingkan bukan sekadar simbol, namun lebih dari itu adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu iman dan amal saleh, maka pendidikan agama mesti memusatkan perhatian pada pembentukan peserta didik yang memiliki kepribadian ideal, yaitu jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, dan jauh dari kekerasan dan sikap negatif lainnya. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terasa sangat bermanfaat ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama. Di sini pula pluralitas agama harus menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dalam mengembangkan potensi dan model pendidikan agama, sementara itu kekuatan konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui keteladanan seorang guru (uswah hasanah).
Reorientasi pendidikan agama di atas sudah saatnya dimulai dari TK hingga perguruan tinggi dengan me-review kurikulum kita yang selama ini dianggap kurang memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan agama damai (harmoni). Agama damai adalah agama yang dapat membimbing umatnya penuh kedamaian, ketenangan dan ketenteraman. Ayat-ayat damai (salam) adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan pada kebutuhan tidak saja toleransi antarumat beragama, melainkan untuk bekerja sama secara moral yang berusaha menegakkan kebajikan di muka bumi ini. Dalam ayat-ayat salam, al-Qur’an menandaskan, bahwa dalam berhubungan dengan kelompok yang berlawanan (memusuhi), umat Islam seharusnya mencoba mengingatkan mereka akan kewajiban moral mereka kepada Tuhan, tetapi jika musuh itu dengan angkuh menolak kebenaran, umat Islam boleh meninggalkan mereka tetapi tetap memberikan salam kepada mereka.
Dalam dinamika seperti ini, umat Islam seyogyanya menunjukkan sikap yang dapat meyakinkan musuh mereka bahwa perbedaan pendapat di antara mereka tidaklah bersifat personal, dan bahwa umat Islam tidak menampakkan dendam atau kebencian terhadap musuh mereka. Sampai-sampai ketika musuh menolak ajaran dan berpaling, al-Qur’an memandu umat Islam bahwa satu-satunya respons yang tepat terhadap penolakan ini adalah mendoakan agar musuh mereka mendapat anugerah kedamaian. Dalam konteks ini, Indonesia bukan daerah perang (dar alharb), oleh sebab itu tidak ada alasan yuridis Islam (hujjah fiqhiyyah) untuk menabuh genderang perang melawan agama lain, apalagi memerangi sesama intern umat beragama. Dalam surah al-Anbiya’: 107 Allah menegaskan, bahwa Nabi Muhammad Saw tidak diutus ke dunia ini keculai menjadi rahmat untuk seluruh makhluk jagad raya, termasuk di dalamnya makhluk Jin.
Dalam beberapa tafsir dijelaskan, misalnya dalam Tafsir al-Munir oleh Wahbah Az-Zuhaili, bahwa yang dimaksud dengan rahmat lil’alamain ini adalah termasuk rahmat bagi orang non-Muslim. Sementara itu dalam sebuah hadis yang sangat populer disebutkan, bahwa Nabi diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia (akhlaq karimah).
Konsep al-akhlaq al-Karimah atau akhlaq karimah –bukan akhlaqul karimah— sering dipahami secara simplistik, artinya bahwa akhlak itu hanya dipahami sebatas sopan santun saja. Padahal al-akhlaq al-karimah itu mencakup berbuat kebajikan kepada semua, termasuk menjaga keseimbangan alam semesta ini (mencakup persoalan ekologi, HAM, keadilan, demokratisasi, ketimpangan sosial dsb.). Jika ini yang dipahami, maka kurikulum akhlak karimah menjadi wajib di semua lembaga pendidikan (apapun jenis dan jenjangnya). Sebagaimana kata adab, atau al-adab sering dipahami secara sederhana, tata krama atau sopan santun murid dengan guru atau anak dengan orang tua. Padahal al-adab itu memiliki ekstensi makna ta’dib yang berarti mengembangkan peradaban. Maka tidak mungkin Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah Swt. ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak, jika akhlak ini hanya bermakna sopan santun, bukankah ini menyederhanakan makna nubuwwah dan risalah-nya? Inilah akhlaq karimah yang sepadan dengan Ihsan, yang merupakan kelanjutan dari Islam dan iman.
Jadi konsep akhlak karimah lebih dari sekadar relasi manusia dengan manusia, melainkan regulasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Bagaimana manusia mampu berhubungan dengan Tuhan-nya, juga dengan sesama manusia dan alam semesta? Di sini sebetulnya al-Qur’an surat al-Qashash: 77 sudah memberikan penjelasan yang gambalng. Dalam surat ini Allah berfirman:
“Carilah apa yang telah dianugerahkan kepadamu akhirat dan jangan lupa bagianmu di dunia; dan berbuat baiklah (kepada sesamamu) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi, karena Allah tidak suka kepada orang yang membuat kerusakan“.
Ayat di atas menjelaskan tiga dimensi penting dalam kehidupan umat manusia yang harus dijaga, yaitu teologis, sosiologis dan kosmologis. Di sini pula sebetulnya 14 abad yang silam Islam sudah berbicara mengenai “regulasi relasional” khaliq-makhluq” dan antar-makhluk itu sendiri. Inilah sebetulnya etika Islam (al-akhlaq al-karimah) itu.
Oleh sebab itu, dalam konteks pendidikan, kurikulum sebetulnya juga tidak saja yang verbal, yang tertulis mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, tetapi lebih dari itu adalah kurikulum non-verbal (hidden curriculum) yang berupa uswah dan qudwah para pendidik, guru (termasuk pemimpin bangsa). Maka hakikat guru, pendidik dan pemimpin itu seharusnya semua ucapan, perbuatan dan ketetapannya menjadi panutan orang lain (murid, siswa dan yang dipimpinnya).
Lantas apa yang harus kita lakukan sebagai umat beragama? Bagaimana peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis antarumat beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimaksud.
Peran Agama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Secara umum, peran agama dalam kehidupan manusia dapat dilihat dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan dengan kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggota-anggotanya untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kedua, aspek yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait dengan peranan agama dalam menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya di masa kini. Pemahaman terhadap peran agama semacam itu dapat ditemukan pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-agama semit. Dalam Islam misalnya, al-Quran tidak hanya mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah ritual-seremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan spiritual, tetapi juga membuka ruang penafsiran intelektual guna membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh pengalaman hidupnya (baca: kontekstualisasi dan reaktualisasi). Peran Islam seperti ini tampak dengan jelas dalam hampir setiap ibadah ritualnya selalu terkandung apa yang biasa disebut dengan pesan moral. Bahkan begitu pentingnya pesan moral ini, “harga” suatu ibadah dalam Islam dinilai dari sejauh mana pesan moralnya bisa dijalankan oleh pemeluknya. Apabila suatu ibadah tidak bisa meningkatkan moral seseorang, maka ibadahnya dianggap tidak ada maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan hal-hal yang terlarang secara syariat (fiqh) dalam suatu ibadah, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu sendiri. Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan intim pada siang hari, maka kifarat (dendanya) ialah memberi makan enam puluh (60) orang miskin, karena salah satu pesan moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di sekitarnya
Aspek kognitif peran agama semacam ini juga bisa dijumpai dalam agama Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel misalnya, –atau Nabi Ayyub dalam al-Qur’an)– merupakan simbol persoalan kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat dalam. Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial dan keagamaan memang tidak serta merta menjadikannya bahagia, sebaliknya menyebabkannya memperoleh cobaan dan penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati nilai-nilai sakral yang terdapat dalam perintah-perintah Tuhan bukan hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan tersebut, namun juga membantunya menemukan makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan kepada Tuhan tentang apa yang terjadi, bukan keadaan dirinya yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa seluruh umatnya yang dikedepankan.
Pesan agama yang terpantul dari kisah tentang Ayub itu adalah, bahwa perbedaan nasib manusia tidak dapat dijelaskan begitu saja menurut ukuran baik buruk manusia, melainkan harus dilihat pula dari segi adanya penilaian-penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu) fungsi agama yang penting, yaitu “memberikan makna moral dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan”. Makna moral di sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, bahwa semua agama besar menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang serius kebajikan seperti itu.
Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada ajaran Islam dan juga Kristen di atas merupakan persoalan makna agama dalam pengalaman individual. Secara esensial, persoalan yang sama juga bisa ditemukan pada level masyarakat secara keseluruhan. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan kekuasaan merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Jika suatu masyarakat mampu memahami peran agama dalam membantu menafsirkan secara moral pengalaman hidupnya, maka agama akan hadir sebagaimana fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-interpretasi tersebut maka agama bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Samuel P. Huntington mengatakan, bahwa benturan yang terjadi antar peradaban sangatlah besar pengaruhnya terhadap perdamaian dunia. Dalam konteks dunia internasional peradaban merupakan pengaman terpenting dalam mencegah terjadinya perang dunia. Padahal yang disebut sejarah peradaban ialah sejarah manusia itu sendiri. Sementara agama adalah karakteristik utama yang mencirikan sebuah peradaban. Lebih dari itu Christopler Dowson mengatakan bahwa agama-agama besar adalah bangunan dasar bagi peradaban-peradaban besar.
Pluralitas agama di Indonesia seharusnya menjadi kekuatan konstruktif-transformatif, bukan sebaliknya menjadi kekuatan destruktif. Potensi pertama, yaitu kekuatan konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan. Sebaliknya potensi destruktif akan dominan jika masing-masing komunitas agama tidak memiliki sikap toleran, bahkan memandang inferior agama lain.
Oleh sebab itu salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan harmonisme umat beragama di Indonesia adalah: pertama, pendidikan agama harus mampu membentuk watak peserta didik, bahwa agama merupakan kebutuhan ruhani bagi penciptaan kerukunan dan kedamaian, pemupuk persaudaraan dan ketenteraman sesuai dengan missinya. Atau dengan kata lain, perlu ada reorientasi pendidikan agama yang berwawasan kemanusiaan universal dan keramahan (rahmatan lil ‘alamain). Kedua, upaya peningkatan kualitas pendidikan pada masing-masing umat. Pendidikan dimaksud adalah pendidikan humanis yang melahirkan akhlak karimah dengan indikator: adanya sikap jujur, toleran, dan cinta-kasih antarsesama. Bukan pendidikan eksklusif yang melahirkan manusia-manusia keras dan absolut.
Berikut beberapa kesalahpahaman umum tentang pendidikan dan sekaligus pandangan alternatifnya:
Komponen | Das Sollen (Seharusnya) | Das Sein (Senyatanya) |
Visi | Pendidikan dipandang secara holistik, menyeluruh dan berparadigma rekonstruktif. | Pendidikan dianggap sebagai disiplin yang terpisah; partikularistik, masih memakai paradigma mekanistik (model perusahaan). |
Tujuan | Beyond schooling, bagaimana belajar (how to learn), pembelajaran seumur hidup (life long education), pengembangan manusia seutuhnya (khaira ummah). | Perolehan informasi ansich, pengetahuan dan keterampilan hanya untuk perolehan pekerjaan (promise of job). |
Isi | Pembelajaran bersifat kontekstual, transformatif, realistik, kurikulum berbasis kehidupan nyata. | Pembelajaran bersifat konvensional, sekadar informatif, tidak relevan dengan kehidupan riil siswa, hanya terfokus pada instruksi/pengajaran textbook. |
Struktur | Gagasan bersifat powerful (powerful ideas), mampu memberi inspirasi dan transformasi, mampu membangun kepribadian dan jati diri anak. | Struktur tidak koheren atau disusun oleh disiplin akademik yang rigid. |
Metode | Discovery learning, terpusat pada siswa, pengajaran bervariasi, dialogis, interaktif, guru sebagai penunjuk (guide), modellling dan mentoring, model pembelajaran terpadu/integrated learning model (ILM) | Didaktik (ceramah, monolog); guru sebagai pusat, satu model untuk semua siswa, tidak inspiratif. |
Program | Life mastery, terpusat pada hal-hal kekinian, ” belajar menjadi Muslim”, Islam sebagai gaya hidup; Islam untuk pemahaman atau penguasaan hidup/ Islam for Life Mastery (ILM). | Terfokus pada masa lampau, belajar tentang Islam dan kepemilikan Islam, ritual-seremonial. |
Penilaian | Authentic assessment, berhubungan dengan dunia riil, penilaian bersifat multi intelligensi. | Tes formal bersifat textbook, benar- salah, lulus atau tidak lulus, tes standar. |
Para sarjana Muslim saat ini dituntut mampu menemukan solusi real terhadap permasalahan-permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi komunitas muslim –termasuk “bagaimana” dan “apa” yang harus diajarkan pada peserta didik kita. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pembaruan visi pendidikan sangat mendesak dilakukan, salah satunya adalah mencetak generasi yang mempunyai tingkat pemahaman, komitmen, dan tanggung jawab sosial yang mampu mengabdikan diri pada kemanusiaan dan sosial secara efektif. Adapun visi pendidikan di sini bukanlah visi yang baru, tetapi lebih merupakan visi pendidikan yang diperbarui (renewd).
Kurikulum sebetulnya juga tidak saja yang verbal, yang tertulis mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, tetapi lebih dari itu ada kurikulum non-verbal (hidden curriculum) yang berupa uswah dan qudwah para pendidik, guru (termasuk pemimpin bangsa). Maka hakikat guru, pendidik dan pemimpin itu seharusnya semua ucapan, perbuatan dan ketetapannya menjadi panutan orang lain (murid, siswa dan yang dipimpinnya).
Kesimpulan
Sudah saatnya umat beragama mengkaji ajaran agamanya secara benar dan kritis, tidak terjebak pada persoalan-persoalan yang formalistik dan bersifat simbol belaka, dan sudah saatnya melakukan reorientasi pada substansi ajarannya yang penuh perhatian terhadap persoalan kemanusiaan seperti keadilan, kejujuran dan kedermawanan. Dengan demikian, reorientasi pendidikan agama harus dimulai dari TK hingga sekolah dengan me-review kurikulum kita selama ini dan mengimplementasikan religious culture dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, rumah tangga dan masyarakat, karena pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama: pemerintah (sekolah), orang tua dan masyarakat, semoga.***
*Makalah disumbangkan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Islam Rahmah menuju Perdamaian Dunia” di Kemenlu Jakarta, 12-11-2015. Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan PPs UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Email: aldin_uin@yahoo.com
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah,
Bafadal, Ibrahim (2002) Telaah Kurikulum Bidang Studi Pendidikan Agama Islam, Jurnal Toleransi, Dialog Lintas Agama, Vol. 2 No. 3.
Departemen Agama RI. (1989), Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang, Toha Putra.
Harian Kompas 15/3/2003 dan 28/03/2003.
Huntington, Samuel P. (1996) The Clash of Civilization and the Remarking of World Order .
Kuntowijoyo ( l991) Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.
M. Zainuddin (2007) Keslehan Normatif dan Sosial, Malang, UIN Press.
Nottingham, Elizabeth K. (1985) Agama dan Masyarakat, Jakarta, C.V. Rajawali Press.
Tauhidi (2003) “Tarbiyah Project”, Makalah dalam International Conference on Islamic Education, USA.