FENOMENA TERORIS MILENIAL

Oleh M. Zainuddin*

TEROR bom bunuh diri yang terjadi di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021) pukul 10.30 WITA kembali mengguncang  publik. Pelakunya adalah pasangan suami isteri “milenial”. Menurut keterangan polisi, mereka adalah anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang diidentifikasi terkait bom Jolo di Filipina, 2018.

Dua tahun silam, sejumlah 145 napi teroris mengamuk dan menyerang polisi di Mako Brimob Jakarta yang menewaskan 6 orang polisi dan melukai 5 orang lainnya, dan kemudian disusul ledakan di rumah susun Sidoarjo dan mapolresta Surabaya (Minggu,13/05/2018). Yang paling mengejutkan adalah, bom bunuh diri itu dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari anak dan orang tua.

Teror dan terorisme bak jamur yang tumbuh subur dan bersemi di Indonesia. Tim Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror Mabes Polri terus melakukan penangkapan terduga teroris di beberapa wilayah. Sejak 6 Juni 2017 tahun silam, Densus 88 telah menangkap 11 orang yang diduga anggota jaringan teroris Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS di lima kota. Dan dilaporkan pula, bahwa JAD ini sudah memiliki jaringan atau rayon yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia. Yang memprihatinkan, bahwa dua dari sembilan terduga teroris yang ditangkap oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Jum’at (10/3/2017) diketahui masih di bawah umur.

Gembong teroris di Indonesia memang sudah banyak yang tertangkap, tetapi tidak dengan “terorisme”. Ini artinya, bahwa teror dan bom bunuh diri di negeri kita ini belum selesai, malah mungkin akan terus berlangsung seiring dengan perkembangan pengikut jamaah “Islam” garis keras itu sendiri yang memiliki jaringan internasional. Dengan kata lain, teroris dan terorisme di Indonesia sudah menjadi bahaya “laten”. Oleh karena itu mesti diputus mata rantainya. Karena, siapapun yang memiliki akal sehat dan beragama tidak akan membenarkan tindakan teror dan bom bunuh diri tersebut.

Musuh Besar Negara

Tindakan teror bom bunuh diri merupakan salah satu dari tiga musuh besar negara, selain korupsi, dan narkoba. Terorisme menjadi masalah bersama bangsa Indonesia, hal ini tidak bisa lepas dari –paling tidak dua hal: pertama, pemahaman agama yang trivial dan eksklusif, sehingga melahirkan doktrin intoleran dan kekerasan; kedua, lemahnya penegakan hukum. Penetrasi paham keagamaan yang dilakukan oleh sekelompok organisasi tertentu pada akhirnya juga ingin membangun dominasi baru yang mengatasnamakan agama. Agama lantas kehilangan ruh dan maknanya karena dipolitisasi sedemikian rupa hingga sifat dasar agama yang inklusifberubah menjadi eksklusif, inteloran, dan ekstrem. Dalam konteks ini Indonesia menjadi lahan subur sasaran kepentingan kelompok tertentu karena lemahnya penegakan hukum, sementara pendidikan agama di sekolah-sekolah belum sepenuhnya mengedepankan nilai-nilai dan moral. Oleh sebab itu kurikulum pendidikan agama yang berlangsung pada bangsa ini perlu di-review terutama dalam pembangunan tata nilai dan pembentukan sikap keberagamaan. Materi pendidikan agama di sekolah-sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius bagi praktisi pendidikan yang ingin membangun bangsa ini bebas dari ekstremisme dan terorisme.

Tindakan para pelaku bom bunuh diri tidak bisa terlepas dari kekuatan doktrin yang mereka miliki. Bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah keharusan yang mesti dilakukan, persetan dengan vonis oleh mainstream maupun hukuman mati oleh pemerintah. Ini adalah sebuah keyakinan, perintah Tuhan yang wajib dilaksanakan. Bagi kelompok ekstremis agama, melakukan tindak kekerasan dan teror dianggap sebagai perjuangan (jihad) yang sangat mulia kedudukannya di sisi Tuhan, bahkan tidak bisa ditawar-tawar untuk ditunda. Inilah doktrin yang mereka bangun dan kembangkan kepada para anggota dan pengikutnya. Resiko mati atau eksekusi mati bagi mereka bukan penghalang, namun justru ada harapan dan janji masuk sorga. Inilah kekuatan “jihad” mereka yang tidak pernah padam. Kekuatan doktrin ini sebenarnya yang sulit untuk dapat dibendung dan ditaklukkan oleh siapapun dan dengan perlawanan apapun. Oleh sebab itu, bagi mereka Amrozi dan kawan-kawan di Indonesia atau kelompok mereka di luar Indonesia boleh mati, tetapi tidak dengan doktrin dan ideologinya. Doktrin seperti ini sudah berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya informasi digital yang semakin canggih dan cepat, sehingga pengaruhnya sampai ke level anak-anak, wanita dan keluarga.

Jalan Keluar

Seacara simultan pemerintah bersama masyarakat hendaknya terus berjuang menegakan hukum untuk membendung bahaya laten terorisme ini. Pemerintah tidak bisa lagi kecolongan oleh kelompok-kelompok asing yang bisa keluar masuk Indonesia seenaknya sendiri sebagaimana yang terjadi selama ini, meski dengan negara tetangga sendiri sekalipun. Selain itu penegakan keadilan dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi menekan kecemburuan sosial antarwarga bangsa harus diwujudkan, terutama dalam membuat regulasi antarumat beragama, karena salah satu konflik antarumat beragama dan munculnya terorisme juga antara lain karena faktor ketidakadilan oleh negara itu sendiri. Lebih dari itu pencegahan juga harus dilakukan demi mengantisipasi terjadinya peristiwa yang berulang-ulang,

Di lembaga pendidikan, hendaknya ditanamkan pendidikan agama yang menanamkan doktrin keberagamaan yang toleran (alhanifiyyah al-samhah), agama damai (din rahmah). Orientasi pendidikan agama tidak cukup hanya menyangkut hal-hal luar yang verbalistik, namun perlu menanamkan doktrin dan tata cara hidup berbangsa dan bernegara yang baik. Oleh sebab itu pesan-pesan materi pendidikan agama harus mencerminkan sifat toleran, inklusif dan humanis. Seiring dengan itu pemerintah juga harus membendung derasnya informasi yang mengandung unsur ujaran kebencian (hoax), propaganda menyesatkan dan tidak mendidik. Karena, para teroris banyak belajar agama dari internet yang sumbernya tidak jelas dan sangat instan, termasuk bagaimana mereka belajar merakit bom dan segala macam teknik kejahatan lainnya.

Dengan demikian konsep tentang pentingnya pendidikan bagi terciptanya kesadaran sosial adalah sangat urgen. Di sini pula perlunya ada penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan agenda tersebut. Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya harmonisme kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain agama yang dipentingkan bukan sekadar simbol, namun lebih dari itu adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu iman dan amal saleh. Karena dengan pendidikan model ini, diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal, solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh dari kekerasan dan teror yang meresahkan warga bangsa. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terasa sangat bermanfaat ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka negara akan menjadi gemah ripah loh jinawe, dibangun melalui tri pusat pendidikan yang benar, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan pendidikan sekolah.

Agar agama dapat membumi, maka para elit agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Sementara pluralitas agama bisa menjadi bagian khazanah bangsa jika dipahami sebagai anugerah Tuhan. Dalam dinamika seperti ini, umat beragama diajarkan untuk menunjukkan sikap yang dapat meyakinkan “musuh” mereka bahwa perbedaan pendapat di antara mereka tidaklah bersifat personal, dan bahwa umat beragama tidak menampakkan dendam atau kebencian terhadap musuh mereka. Sampai-sampai ketika musuh menolak ajaran dan berpaling, seharusnya beragama tetap mendoakan agar musuh mereka mendapat anugerah kedamaian. Indonesia bukan daerah perang (dar alharb), oleh sebab itu tidak ada alasan yuridis apapun untuk menabuh genderang perang melawan agama lain. Justru yang harus dilakukan adalah sebaliknya, perang melawan teroris itu sendiri, dan bahwa teroris adalah musuh semua agama.***

_________

*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Agama UIN Maliki Malang, Pengurus MUI Kota Malang Bidang Kerukunan Umat Beragama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *